I. PENDAHULUAN
Pada awalnya
ketika masyarakat belum terbuka seperti sekarang ini, begitu pula media massa
dan teknologi komunikasi belum berkembang seperti saat ini, semua bentuk
pencabulan atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan obyek seks
disebut dengan kata “porno”. Kemudian ketika ide-ide porno itu sudah dapat
dilukiskan atau di ukir pada lembaran-lembaran kertas atau kanvas dan terutama
ketika penemuan mesin cetak di abad ke-14 sehingga masyarakat telah bisa
memproduksi hasil-hasil cetakan termasuk gambar-gambar porno, maka istilah
pornografi menjadi sangat sering digunakan untuk menandai gambar-gambar porno
saat itu sampai saat ini.
Media baik
elektronik maupun cetak saat ini banyak disorot sebagai salah satu penyebab
utama menurunnya moral umat manusia termasuk juga remaja. Berbagai tayangan
yang sangat menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya
dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual. Dengan semakin majunya
teknologi komunikasi, saat ini hamper tidak ada satupun kekuatan yang mampu
mengendalikan atau melakukan sensor terhadap berita maupun hiburan termasuk
berita atau tayangan yang termasuk dalam kategori pornografi.
Untuk lebih
memahami lagi tentang pornografi dalam media massa, maka dalam makalah ini
penulis akan membahas beberapa masalah tentang pornografi dalam media massa.
II. RUMUSAN MASALAH
a.
Pengertian pornografi
b.
Pornografi dalam media massa
c.
Akibat dari pornografi
d.
Undang-undang tentang pornografi
III. PEMBAHASAN
a.
Pengertian Pornografi
Menurut bahasa, pornografi berasal
dari kata Yunani “porne” yang berarti perempuan jalang dan graphein berarti
menulis. Dari pengertian ini, menunjukkan bahwa objek utama dan sumber
pornografi adalah perempuan.
Dalam
referensi lain, porno juga bermakna cabul. Dari sinilah pornografi dipahami
sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan
untuk membangkitkan nafsu birahi.
Pornografi didefinisikan oleh Ernst
dan Seagle sebagai berikut: “Pornography is any matter odd thing exhibiting or
visually representing persoss or animals performing the sexual act, whetever
normal or abnormal”. Pornografi adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara
visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik
secara normal ataupun abnormal.
Oleh karena itu istilah pornografi
mengandung pengertian pejorative tentang hal-hal yang bersifat
sexual. Peter Webb sebagaimana dikutip oleh Rizal Mustansyir melengkapi
definisi pornografi dengan menambahkan bahwa pornografi itu terkait dengan
obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar eroticism. Menurut Webb,
masturbasi dianggap semacam perayaan yang berfungsi menyenangkan tubuh
seseorang yang melakukannya.
Kemudian dalam perkembangan terbaru
pornografi dipahami dalam tiga pengertian; Pertama, kecabulan yang merendahkan
derajat kaum wanita. Kedua, merosotnya kualitas kehidupan yang erotis dalam
gambar-gambar yang jorok, kosakata yang kasar, dan humor yang vulgar. Kegita,
mengacu pada tingkah laku yang merusak yang terkait dengan mental manusia.
Pengertian ketiga kemudian menjadi
latar belakang istilah pornoaksi, karena terkait dengan tindakan yang mengarah
pada hal-hal yang merusak melalui aktivitas seksual, baik secara kontak person
yang bersifat liar maupun melalui penyelenggaraan badaniah. Kontak seksual yang
bersifat liar dalam hal ini berarti tanpa melalui prosedur yang resmi
(pernikahan), atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan istilah zina.
Sedangkan menurut Undang-undang RI
Nomor 44 Tahun 2008, tentang Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.[1]
b.
Pornografi dalam media massa
Dikatakan oleh Toffler, bahwa pada
saat ini peranan media massa sebagai informasi dalam menyampaikan pesan-pesan
perubahan masyarakat begitu sangat penting. Persoalannya bahwa yang dibawa oleh
media massa, baik elektronik dan cetak, tidak saja bersifat positif, namun juga
bersifat negatif.
Dalam buku Imaji Media Massa, penulis
menceritakan betapa kontruksi sosial media massa memiliki pengaruh yang sangat
kuat dalam mengkonstruksi agenda pemberitaan media di masyarakat pada umumnya.
Media elektronik (visual) juga tidak
sedikit peranannya dalam masalah ini. Dengan teknologi satelit, dimana
masyarakat dapat menggunakannya untuk menerima berbagai siaran TV dari berbagai
stasiun di dunia, maka kemungkinan peran media elektronika ini sangat besar
sekali dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan kepada masyarakat, termasuk di
dalamnya adalah mengubah konsep seks normative dan mendorong pelecehan seks.[2]
Dalam undang-undang tentang
penanggulangan pornografi dan pornoaksi, pada bagian Keempat yang mengantur
kepentingan Media Massa, disitu denyatakan bahwa “Media cetak dan atau
elektronik dapat memuat gambar-gambar tentang anatomi tubuh manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan yang ditujukan untuk memberikan informasi ilmu pengetahuan
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kecerdasan fisik, mental,
spiritual, moral, akhlak, dan sosial bangsa Indonesia berdasarkan Keimanan dan
Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.[3]
Pornografi di media adalah materi seks
di media massa yang secara sengaja ditujukan untuk membangkitkan hasrat
seksual. Contoh-contoh pornografi di media massa adalah gambar atau foto wanita
dengan berpakaian minim atau tidak berpakaian di sampul depan atau di bagian
dalam majalah atau media cetak, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks di
dalam berbagai media cetak, adegan seks di dalam film bioskop, Video atau Video
Compact Disc (VCD), dan sebagainya.
Pendidikan seks, meskipun menyajikan
tulisan dan gambar tentang seksualitas, tetapi tidak termasuk ke dalam
pornografi, pendidikan seks bertujuan memberi pemahaman yang benar mengenai
seksualitas. Karena itu penyajiannya dilakukan tidak dengan cara yang
membangkitkan birahi.[4]
Karena pelaziman, imajinasi, dan
pengalaman bermacam-macam, maka kita mengalami kesulitan untuk mendefinisikan
pornografi atau media erotica.Pornografi tidak cukup didefinisikan sebagai
gambar-gambar atau adegan-adegan yang merangsang, sebab rangsangan sangat
tergantung pada orangnya. Tetapi beberapa orang peneliti telah menemukan
foto-foto atau adegan-adegan yang secara universal menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat. Baron dan Byrne melaporkan, beberapa penelitian, baik di
Amerika maupun Jerman, yang menunjukan hal-hal tertentu. Misalnya, mereka
menguntip penelitian Schmindt dan Sigusch yang menggunakan slides, sejak slides
yang menggambarkan orang yang berciuman sampai coitus. Berbagai gambar ternyata
menunjukkan tingkat rangsangan seksual yang berbeda.[5]
c.
Akibat dari pornografi
Pada
dasarnya sesuatu yang berbau porno bertujuan merangsang hasrat seksual pembaca
atau penonton. Karena itu efek yang dirasakan orang yang menyaksikan atau
membaca pornografi adalah terbangkitnya dorongan seksual. Bila seseorang
mengkonsumsi pornografi sesekali dampaknya mungkin tidak akan terlalu besar.
Yang menjadi masalah adalah bila orang terdorong untuk terus menerus
mengkonsumsi pornografi, yang mengakibatkan dorongan untuk menyalurkan hasrat
seksualnya pun menjadi besar. Dalam hal ini, yang perlu diperhatika adalah
damak pornografi pada kalangan remaja atau anak-anak.
Dampak Pornografi pada remaja atau anak-anak
Bila
remaja terus menerus mengkonsumsi pornografi, sangat mungkin ia akan terdorong
untuk melakukan hubungan seks pada usia terlalu dini, dan di luar ikatan
pernikahan. Apalagi pornografi umumnya tidak mengajarkan corak hubungan seks
yang bertanggungjawab, sehingga potensial mendorong perilaku seks yang
menghasilkan kehamilan remaja, kehamilan di luar nikah atau penyebaran penyakit
yang menular melalui hubungan seks.
Penelitian
menunjukkan para konsumen pornografi cenderung mengalami efek kecanduan, dalam
arti sekali menyukai pornografi, seseorang akan merasakan kebutuhan untuk terus
mencari dan memperoleh materi pornografi. Bahkan lebih dari itu, si pecandu
pornografi akan mengalami proses peningkatan (eskalasi) kebutuhan.
Contohnya, bila mula-mula seorang pria sudah merasa puas menyaksikan gambar wanita berpakaian renang, perlahan-lahan ia mencari adegan hubungan seks antara satu pria dengan beberapa wanita.
Contohnya, bila mula-mula seorang pria sudah merasa puas menyaksikan gambar wanita berpakaian renang, perlahan-lahan ia mencari adegan hubungan seks antara satu pria dengan beberapa wanita.
Merendahkan Kaum Wanita
Umumnya pornografi
memang menonjolkan wanita sebagai objek seks. Dalam hal ini, pornografi dapat
memperkuat cara pandang bahwa wanita pada dasarnya hanya mahluk yang berfungsi
sebagai pemuas nafsu seks pria saja. Lebih
dari itu, banyak media yang menggambarkan adegan perkosaan terhadap sebagai
peristiwa yang penuh kenikmatan dan sensasi. Karena itu, pornografi cenderung
menempatkan wanita dalam posisi rendah. Seseorang bisa melakukan tindakan
erkosaan karena dipengaruhi oleh pornografi. Banyak sekali di beritakan media
massa tentang perkosaan yang dilakukan setelah pelakunya menonton film porno.
Namun demikian, perkosaan umumnya terjadi oleh pelaku yang memandang rendah
derajat wanita. Karena itu, pornografi sering dianggap sebagi faktor yang
memperkokoh budaya perkosaan terhadap wanita.[6]
d.
Undang-undang tentang pornografi
Undang-undang
Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan
Undang-undang Antipornografi dan pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian
menjadi Rancangan Undang-undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk
undang-undang yang mengatur mengenai pornografi. UU ini disahkan menjadi
undang-undang dalam sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR
kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP
pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi
dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas
RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan
akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab
dan 44 pasal.
Pada RUU Pornografi, defisini
pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas
yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual
dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini
menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan
memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
Rancangan terakhir RUU ini masih
menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti
Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua), LSM perempuan yang masih
menolak RUU ini.
Setelah
disahkan, definisi Pornografi menjadi, "Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat." Frase
membangkitkan hasrat seksual dihilangkan kerena menimbulkan multitafsir.[7]
Dalam
Undang-undang menanggulangan pornografi dan pornoaksi, dijelaskan pada bahwa :
BAGIAN KETUJUH
Larangan Produksi Pornografi
1.
Perusahaan-perusahaan Perfilman layar lebar dan
atau layar kaca, Pertelevisian, Periklanan, Penyiaran, Telepon, Internet, Radio
dan Perusahaan-perusahaan lain-lain elektronik yang terkait dilarang
memproduksi, menyediakan sarana dan prasarana yang mendorong para pengguna
jasa, konsumen, pemirsa, penonton, pendengar untuk melakukan pornografi dan
atau pornoaksi dan atau mendorong orang lain melakukan perzinaan dan atau
pemerkosaan, dan atau pembunuhan dan atau aborsi, sebagai akibat tontonan,
tayangan, situs-situs, siaran yang pornografi dan atau pornoaksi.
2.
Seluruh Perusahaan Pertelevisian wajib
menayangkan pendidikan keagamaan yang jumlah jam tayangnya memadai disbanding
jam tayang acara-acara lain demi terbinanya dan terpeliharanya moral dan akhlak
bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman dalam hidup dan kehidupan
setian manusia Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.
Perusahaan warung-warung Telepon dan
warung-warung internet di larang menyediakan pelayannan untuk jaringan telepon
pornodengar (erotic line) dan situs-situs pornografi melalui syarat dan tata
cara ketika permohonan yang wajib dipenuhi ketika pendirian perusahaan tersebut
dilakukan.
4.
Perusahaan Umum Telekomunikasi wajib memberikan
syarat-syarat dan tata cara ketat agar Perusahaan-perusahaan warung telepon dan
warung internet tidak menyediakan jaringan hubungan dengan nomor-nomor telepon
tertentu yang melakukan kegiatan porno-telepon atau porno-internet disertai
ancaman hukuman pidana bagi perusahaan warung telepon dan warung internet yang
melanggar.[8]
IV. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam
bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi
lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam undang-undang tentang penanggulangan pornografi dan
pornoaksi, pada bagian Keempat yang mengantur kepentingan Media Massa, disitu
denyatakan bahwa “Media cetak dan atau elektronik dapat memuat gambar-gambar
tentang anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ditujukan untuk
memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan kecerdasan fisik, mental, spiritual, moral, akhlak, dan sosial
bangsa Indonesia berdasarkan Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
V. PENUTUP
Demikian
makalah yang kami susun, kami menyadari tentunya makalah ini masih banyak
kelemahan dan kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, kami mengharap
kritik dan saran yang membangun guna untuk selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
[2]
Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos.,M.Si. Pornomedia. (Jakarta;
Prenada Media. 2005) hlm. 87
[3]
Neng Djubaedah, S.H., M.H. Pornografi dan Pornoaksi. (Jakarta: Prenada
Media. 2003) hlm 269
[5]
Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Psikologi Komunikasi. (Bandung; Remaja
Rosdakarya. 2008) hlm. 238
[6]
opcit.
[8]
opcit. hlm.273
Mkasih y mbA
BalasHapuskolomedukasi.com