Label

Rabu, 18 September 2013

PORNOGRAFI DALAM MEDIA MASSA

I.  PENDAHULUAN
Pada awalnya ketika masyarakat belum terbuka seperti sekarang ini, begitu pula media massa dan teknologi komunikasi belum berkembang seperti saat ini, semua bentuk pencabulan atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan obyek seks disebut dengan kata “porno”. Kemudian ketika ide-ide porno itu sudah dapat dilukiskan atau di ukir pada lembaran-lembaran kertas atau kanvas dan terutama ketika penemuan mesin cetak di abad ke-14 sehingga masyarakat telah bisa memproduksi hasil-hasil cetakan termasuk gambar-gambar porno, maka istilah pornografi menjadi sangat sering digunakan untuk menandai gambar-gambar porno saat itu sampai saat ini.
Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak disorot sebagai salah satu penyebab utama menurunnya moral umat manusia termasuk juga remaja. Berbagai tayangan yang sangat menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual. Dengan semakin majunya teknologi komunikasi, saat ini hamper tidak ada satupun kekuatan yang mampu mengendalikan atau melakukan sensor terhadap berita maupun hiburan termasuk berita atau tayangan yang termasuk dalam kategori pornografi.
Untuk lebih memahami lagi tentang pornografi dalam media massa, maka dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa masalah tentang pornografi dalam media massa.
II. RUMUSAN MASALAH
a.      Pengertian pornografi
b.      Pornografi dalam media massa
c.       Akibat dari pornografi
d.      Undang-undang tentang pornografi





III. PEMBAHASAN
a.      Pengertian Pornografi
Menurut bahasa, pornografi berasal dari kata Yunani “porne” yang berarti perempuan jalang dan graphein berarti menulis. Dari pengertian ini, menunjukkan bahwa objek utama dan sumber pornografi adalah perempuan.
Dalam referensi lain, porno juga bermakna cabul. Dari sinilah pornografi dipahami sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
Pornografi didefinisikan oleh Ernst dan Seagle sebagai berikut: “Pornography is any matter odd thing exhibiting or visually representing persoss or animals performing the sexual act, whetever normal or abnormal”. Pornografi adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal.
Oleh karena itu istilah pornografi mengandung pengertian pejorative tentang hal-hal yang bersifat sexual. Peter Webb sebagaimana dikutip oleh Rizal Mustansyir melengkapi definisi pornografi dengan menambahkan bahwa pornografi itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar eroticism. Menurut Webb, masturbasi dianggap semacam perayaan yang berfungsi menyenangkan tubuh seseorang yang melakukannya.
Kemudian dalam perkembangan terbaru pornografi dipahami dalam tiga pengertian; Pertama, kecabulan yang merendahkan derajat kaum wanita. Kedua, merosotnya kualitas kehidupan yang erotis dalam gambar-gambar yang jorok, kosakata yang kasar, dan humor yang vulgar. Kegita, mengacu pada tingkah laku yang merusak yang terkait dengan mental manusia.
Pengertian ketiga kemudian menjadi latar belakang istilah pornoaksi, karena terkait dengan tindakan yang mengarah pada hal-hal yang merusak melalui aktivitas seksual, baik secara kontak person yang bersifat liar maupun melalui penyelenggaraan badaniah. Kontak seksual yang bersifat liar dalam hal ini berarti tanpa melalui prosedur yang resmi (pernikahan), atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan istilah zina.
Sedangkan menurut Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2008, tentang Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[1]

b.      Pornografi dalam media massa

Dikatakan oleh Toffler, bahwa pada saat ini peranan media massa sebagai informasi dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan masyarakat begitu sangat penting. Persoalannya bahwa yang dibawa oleh media massa, baik elektronik dan cetak, tidak saja bersifat positif, namun juga bersifat negatif.
Dalam buku Imaji Media Massa, penulis menceritakan betapa kontruksi sosial media massa memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengkonstruksi agenda pemberitaan media di masyarakat pada umumnya.
Media elektronik (visual) juga tidak sedikit peranannya dalam masalah ini. Dengan teknologi satelit, dimana masyarakat dapat menggunakannya untuk menerima berbagai siaran TV dari berbagai stasiun di dunia, maka kemungkinan peran media elektronika ini sangat besar sekali dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya adalah mengubah konsep seks normative dan mendorong pelecehan seks.[2]
Dalam undang-undang tentang penanggulangan pornografi dan pornoaksi, pada bagian Keempat yang mengantur kepentingan Media Massa, disitu denyatakan bahwa “Media cetak dan atau elektronik dapat memuat gambar-gambar tentang anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ditujukan untuk memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kecerdasan fisik, mental, spiritual, moral, akhlak, dan sosial bangsa Indonesia berdasarkan Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.[3]
Pornografi di media adalah materi seks di media massa yang secara sengaja ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual. Contoh-contoh pornografi di media massa adalah gambar atau foto wanita dengan berpakaian minim atau tidak berpakaian di sampul depan atau di bagian dalam majalah atau media cetak, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks di dalam berbagai media cetak, adegan seks di dalam film bioskop, Video atau Video Compact Disc (VCD), dan sebagainya.
Pendidikan seks, meskipun menyajikan tulisan dan gambar tentang seksualitas,  tetapi tidak termasuk ke dalam pornografi, pendidikan seks bertujuan memberi pemahaman yang benar mengenai seksualitas. Karena itu penyajiannya dilakukan tidak dengan cara yang membangkitkan birahi.[4]
Karena pelaziman, imajinasi, dan pengalaman bermacam-macam, maka kita mengalami kesulitan untuk mendefinisikan pornografi atau media erotica.Pornografi tidak cukup didefinisikan sebagai gambar-gambar atau adegan-adegan yang merangsang, sebab rangsangan sangat tergantung pada orangnya. Tetapi beberapa orang peneliti telah menemukan foto-foto atau adegan-adegan yang secara universal menimbulkan rangsangan seksual yang kuat. Baron dan Byrne melaporkan, beberapa penelitian, baik di Amerika maupun Jerman, yang menunjukan hal-hal tertentu. Misalnya, mereka menguntip penelitian Schmindt dan Sigusch yang menggunakan slides, sejak slides yang menggambarkan orang yang berciuman sampai coitus. Berbagai gambar ternyata menunjukkan tingkat rangsangan seksual yang berbeda.[5]

c.       Akibat dari pornografi

Pada dasarnya sesuatu yang berbau porno bertujuan merangsang hasrat seksual pembaca atau penonton. Karena itu efek yang dirasakan orang yang menyaksikan atau membaca pornografi adalah terbangkitnya dorongan seksual. Bila seseorang mengkonsumsi pornografi sesekali dampaknya mungkin tidak akan terlalu besar. Yang menjadi masalah adalah bila orang terdorong untuk terus menerus mengkonsumsi pornografi, yang mengakibatkan dorongan untuk menyalurkan hasrat seksualnya pun menjadi besar. Dalam hal ini, yang perlu diperhatika adalah damak pornografi pada kalangan remaja atau anak-anak.
Dampak Pornografi pada remaja atau anak-anak
Bila remaja terus menerus mengkonsumsi pornografi, sangat mungkin ia akan terdorong untuk melakukan hubungan seks pada usia terlalu dini, dan di luar ikatan pernikahan. Apalagi pornografi umumnya tidak mengajarkan corak hubungan seks yang bertanggungjawab, sehingga potensial mendorong perilaku seks yang menghasilkan kehamilan remaja, kehamilan di luar nikah atau penyebaran penyakit yang menular melalui hubungan seks.
Penelitian menunjukkan para konsumen pornografi cenderung mengalami efek kecanduan, dalam arti sekali menyukai pornografi, seseorang akan merasakan kebutuhan untuk terus mencari dan memperoleh materi pornografi. Bahkan lebih dari itu, si pecandu pornografi akan mengalami proses peningkatan (eskalasi) kebutuhan. 
Contohnya, bila mula-mula seorang pria sudah merasa puas menyaksikan gambar wanita berpakaian renang, perlahan-lahan ia mencari adegan hubungan seks antara satu pria dengan beberapa wanita.
Merendahkan Kaum Wanita
Umumnya pornografi memang menonjolkan wanita sebagai objek seks. Dalam hal ini, pornografi dapat memperkuat cara pandang bahwa wanita pada dasarnya hanya mahluk yang berfungsi sebagai pemuas nafsu seks pria saja.  Lebih dari itu, banyak media yang menggambarkan adegan perkosaan terhadap sebagai peristiwa yang penuh kenikmatan dan sensasi. Karena itu, pornografi cenderung menempatkan wanita dalam posisi rendah. Seseorang bisa melakukan tindakan erkosaan karena dipengaruhi oleh pornografi. Banyak sekali di beritakan media massa tentang perkosaan yang dilakukan setelah pelakunya menonton film porno. Namun demikian, perkosaan umumnya terjadi oleh pelaku yang memandang rendah derajat wanita. Karena itu, pornografi sering dianggap sebagi faktor yang memperkokoh budaya perkosaan terhadap wanita.[6]
d.      Undang-undang tentang pornografi
Undang-undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-undang Antipornografi dan pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi. UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini.
Setelah disahkan, definisi Pornografi menjadi, "Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat." Frase membangkitkan hasrat seksual dihilangkan kerena menimbulkan multitafsir.[7]
Dalam Undang-undang menanggulangan pornografi dan pornoaksi, dijelaskan pada bahwa :
BAGIAN KETUJUH
Larangan Produksi Pornografi

1.      Perusahaan-perusahaan Perfilman layar lebar dan atau layar kaca, Pertelevisian, Periklanan, Penyiaran, Telepon, Internet, Radio dan Perusahaan-perusahaan lain-lain elektronik yang terkait dilarang memproduksi, menyediakan sarana dan prasarana yang mendorong para pengguna jasa, konsumen, pemirsa, penonton, pendengar untuk melakukan pornografi dan atau pornoaksi dan atau mendorong orang lain melakukan perzinaan dan atau pemerkosaan, dan atau pembunuhan dan atau aborsi, sebagai akibat tontonan, tayangan, situs-situs, siaran yang pornografi dan atau pornoaksi.
2.      Seluruh Perusahaan Pertelevisian wajib menayangkan pendidikan keagamaan yang jumlah jam tayangnya memadai disbanding jam tayang acara-acara lain demi terbinanya dan terpeliharanya moral dan akhlak bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman dalam hidup dan kehidupan setian manusia Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.      Perusahaan warung-warung Telepon dan warung-warung internet di larang menyediakan pelayannan untuk jaringan telepon pornodengar (erotic line) dan situs-situs pornografi melalui syarat dan tata cara ketika permohonan yang wajib dipenuhi ketika pendirian perusahaan tersebut dilakukan.
4.      Perusahaan Umum Telekomunikasi wajib memberikan syarat-syarat dan tata cara ketat agar Perusahaan-perusahaan warung telepon dan warung internet tidak menyediakan jaringan hubungan dengan nomor-nomor telepon tertentu yang melakukan kegiatan porno-telepon atau porno-internet disertai ancaman hukuman pidana bagi perusahaan warung telepon dan warung internet yang melanggar.[8]


IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam undang-undang tentang penanggulangan pornografi dan pornoaksi, pada bagian Keempat yang mengantur kepentingan Media Massa, disitu denyatakan bahwa “Media cetak dan atau elektronik dapat memuat gambar-gambar tentang anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ditujukan untuk memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kecerdasan fisik, mental, spiritual, moral, akhlak, dan sosial bangsa Indonesia berdasarkan Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari tentunya makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, kami mengharap kritik dan saran yang membangun guna untuk selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.




[2] Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos.,M.Si. Pornomedia. (Jakarta; Prenada Media. 2005) hlm. 87
[3] Neng Djubaedah, S.H., M.H. Pornografi dan Pornoaksi. (Jakarta: Prenada Media. 2003) hlm 269
[5] Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Psikologi Komunikasi. (Bandung; Remaja Rosdakarya. 2008) hlm. 238
[6] opcit.
[8] opcit. hlm.273

1 komentar: