Teman,
kebetulan sekali aku punya sanak keluarga di daerah Semarang,
tepatnya di perumahan Tugu. Rumah pamanku ini terletak di atas bukit,
dan yang paling tinggi. Dari atas sana aku bisa melihat bandara,
kereta api yang sering lewat, jalan raya pantura, pabrik – pabrik,
laut beserta kapal – kapalnya, dan yang amat mengundang perhatian
saya adalah sebuah candi yang berada di atas bukit dan nampak jelas
hanya berdiri sendiri. Sempat aku bertanya pada ayahku, candi apa
itu? Dan ayah menjawab bahwa itu dinamakan candi Tugu. Hemmm.. aku
pun langsung merengek minta di ajak ke candi itu, kira – kira pada
waktu itu aku berumur 7 tahunan. Dan akupun pertama kali menjejakkan
kakiku di candi tersebut bersama ayahku. Tempatnya di atas permukiman
warga, hanya ada jalan setapak kecil yang di tumbuhi padang ilalang
tinggi yang menjadi akses jalan menuju tangga candi. Aku kagum sekali
saat itu, untuk ke atas candi ada tangga yang tingggiiiiii sekali.
Waktu itu aku belum berpikiran untuk menghitung anak buah tangga itu.
Candinya tersembunyi di antara rerimbunan pohon – pohon yang
membuat candi itu nampak menakutkan. Tapi sungguh, dari atas sana
kita bisa melihat daerah sekitar yang amat mengagumkan. Itu lah
pertama kali aku mengenal candi tugu. Lalu selanjutnya, aku melihat
kembali candi Tugu setelah tim “Dunia Lain” melakukan uji nyali
di tempat tersebut. Yahhh… aku jadi tambah serem.
Kini
aku kuliah di daerah Semarang, tepatnya di IAIN Walisongo. Pada suatu
saat aku membaca sebuah artikel di majalah kampus Amanat
Edisi 116/Juli 2011 pada
kolom Cermin yang memiliki judul WATU
TUGU : TAPAL BATAS DUA KERAJAAN BESAR. artikel
ini sungguh menggugah aku untuk membacanya. Akan aku uraikan isi dari
artikel tersebut agar Teman – teman bisa membacanya.
Watu
Tugu
TAPAL
BATAS DUA KERAJAAN BESAR
Nilai
sejarah besar tapi tak dipedulikan.
Watu
Tugu terancam Punah dari situs peradaban.
Sabtu
(12/03/2011) suasana kompleks Watu Tugu tampak berbeda dari biasanya.
Puluhan orang yang tergabung dalam Komunitas Seniman Semarang
menggelar acara resik – resik dilanjutkan prosesi ritual dan
pementasan seni pada malam harinya. Acara bertajuk “Grebeg Prih Ari
Watu Tugu” diadakan sebagai bentuk keprihatinan masyarakat,
khususnya budayawan, terhadap terbengkalainya situs bersejarah
tersebut.
“Apa
yang kita lakukan hari ini, semoga menyadarkan semuanya untuk
peduli,” kata Ahmad Khaerudin, penggagas acara.
Solidaritas
yang ditunjukkan kelompok seniman itu bukan tanpa musabab. Dalihnya,
situs bersejarah itu kini nyaris punah karena tak terurus. Padahal,
objek yang terletak di desa Tugu Rejo, kecamatan Tugu tersebut
menyimpan rahasia besar dalam sejarah peradaban jawa.
Berdasarkan
salah satu sumber data, Watu Tugu dulunya merupakan tapal batas
antara kerajaan majapahit di jawa timur dengan Kerajaan Pajajaran di
Jawa Barat. Dalam perjalanan sejarah, keduanya sempat terlibat
konflik. Sebagai upaya perdamaian, didirikanlah Watu Tugu sebagai
prasasti perdamaian dan juga pembebasan.
Dalam
versi lain disebutkan, peristiwa perang saudara antara ciung Wanara
dan Raden Tanduran memiliki arti penting dalam sejarah muasal nama
kota Semarang. Orang menyebut keduanya “sama perang” atau sama –
sama berperang. Dalam perkembangannya, perkataan itu di haluskan
menjadi “Semarang” (J. Hageman Joz:1852).
Minim
Perhatian
Hingga
kini, Monumen Tugu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Awal
ditemukan, monument Tugu sebenarnya sudah dalam keadaan tidak utuh.
Itu terlihat dari sketsa yang dirilis Thomas Stamford Rafles yang
menunjukkan sebagian tubuh monument rusak. Baru pada tahun 1868
(jawa) atau 1938 M, Dinas Purbakala Pemerintah Hindia Belanda dengan
dibantu warga sekitar melakukan pemugaran.
Monumen
Tugu sebenarnya telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional oleh
dinas Pariwisata Dan kebudayaan Kota Semarang. Karena telah memenuhi
criteria sebagai cagar budaya sesuai Undang – Undang (UU) nomor. 11
tahun 2010. Yaitu, berusia lima puluh tahun atau lebih dan memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan
kebudayaan.
Inisiatif
pelestarian justru datang dari pihak swasta dan masyarakat setempat.
Beberapa candi yang dibangun di kompleksWatu Tugu dibuat dan didanai
oleh PT Jamin, pemilik lahan kompleks situs tersebut. Replika candi
gedung Sanga itu dibuat untuk memperindah dan menarik animo
pengunjung. Meski mendapat tentangan dari beberapa pihak lantaran
keberadaannya akan menghalangi proses penelitian lanjut. Selain itu,
keberadaan candi buatan di khawatirkan akan merusak keaslian Monumen
Tugu.
Kekhawatiran
itu akhirnya terjawab dengan kerancuan pemahaman di masyarakat. Kini
masyarakat lebih mengenal Monumen Tugu dengan Sebutan “Candi Tugu”.
Tak jarang yang menganggap candi itu asli.
Di
samping itu, keberadaan Monumen Tugu terisolir karena tidak adanya
papan petunjuk arah. Itu menyebabkan pengunjung kebingungan menemukan
lokasi. Pemberian papan informasi dan petunjuk arah merupakan
pekerjaan sederhana yang sampai saat ini belum dilakukan pemerintah.
Oleh
: Irma Muflikhaha, Moh Mufid
Teman,
itulah sekelumit artikel yang saya baca. Setidaknya bisa menambah
pemahaman kita. Yang aneh sendiri, pada saat di kos aku bertanya pada
mbak – mbak kos tidak ada yang tahu tentang keberadaan Monumen Tugu
/ Candi Tugu. Padahal mereka telah tinggal di 3 tahun lamanya dan
berjarak dekat dengan tempat tersebut. Dari tulisan ini semoga dapat
menambah wawasan bagi kita tempat bersejarah yang terlupakan. Semoga
bisa menjadi manfaat bagi kita dan monument Tugu itu sendiri. So,
bagi kalian yang belum pernah kesana, coba liat deh, lestarikan
peninggalan bangsa kita.
Wah amazing banget sis..
BalasHapusane lihat tadi pas ane pulg dari Semarang pas lihat di sekitar situ kok baru tau kalau ada candi. Setelah ane browsing eh ketemu di blog kamu.
Nice info sis. ^_^
salam wong Kendal. Ditunggu kunjungan baliknya di blog saya.