Label

Selasa, 10 Juli 2012

Monumen Watu Tugu

Teman, kebetulan sekali aku punya sanak keluarga di daerah Semarang, tepatnya di perumahan Tugu. Rumah pamanku ini terletak di atas bukit, dan yang paling tinggi. Dari atas sana aku bisa melihat bandara, kereta api yang sering lewat, jalan raya pantura, pabrik – pabrik, laut beserta kapal – kapalnya, dan yang amat mengundang perhatian saya adalah sebuah candi yang berada di atas bukit dan nampak jelas hanya berdiri sendiri. Sempat aku bertanya pada ayahku, candi apa itu? Dan ayah menjawab bahwa itu dinamakan candi Tugu. Hemmm.. aku pun langsung merengek minta di ajak ke candi itu, kira – kira pada waktu itu aku berumur 7 tahunan. Dan akupun pertama kali menjejakkan kakiku di candi tersebut bersama ayahku. Tempatnya di atas permukiman warga, hanya ada jalan setapak kecil yang di tumbuhi padang ilalang tinggi yang menjadi akses jalan menuju tangga candi. Aku kagum sekali saat itu, untuk ke atas candi ada tangga yang tingggiiiiii sekali. Waktu itu aku belum berpikiran untuk menghitung anak buah tangga itu. Candinya tersembunyi di antara rerimbunan pohon – pohon yang membuat candi itu nampak menakutkan. Tapi sungguh, dari atas sana kita bisa melihat daerah sekitar yang amat mengagumkan. Itu lah pertama kali aku mengenal candi tugu. Lalu selanjutnya, aku melihat kembali candi Tugu setelah tim “Dunia Lain” melakukan uji nyali di tempat tersebut. Yahhh… aku jadi tambah serem.
Kini aku kuliah di daerah Semarang, tepatnya di IAIN Walisongo. Pada suatu saat aku membaca sebuah artikel di majalah kampus Amanat Edisi 116/Juli 2011 pada kolom Cermin yang memiliki judul WATU TUGU : TAPAL BATAS DUA KERAJAAN BESAR. artikel ini sungguh menggugah aku untuk membacanya. Akan aku uraikan isi dari artikel tersebut agar Teman – teman bisa membacanya.
Watu Tugu
TAPAL BATAS DUA KERAJAAN BESAR
Nilai sejarah besar tapi tak dipedulikan.
Watu Tugu terancam Punah dari situs peradaban.
Sabtu (12/03/2011) suasana kompleks Watu Tugu tampak berbeda dari biasanya. Puluhan orang yang tergabung dalam Komunitas Seniman Semarang menggelar acara resik – resik dilanjutkan prosesi ritual dan pementasan seni pada malam harinya. Acara bertajuk “Grebeg Prih Ari Watu Tugu” diadakan sebagai bentuk keprihatinan masyarakat, khususnya budayawan, terhadap terbengkalainya situs bersejarah tersebut.
Apa yang kita lakukan hari ini, semoga menyadarkan semuanya untuk peduli,” kata Ahmad Khaerudin, penggagas acara.
Solidaritas yang ditunjukkan kelompok seniman itu bukan tanpa musabab. Dalihnya, situs bersejarah itu kini nyaris punah karena tak terurus. Padahal, objek yang terletak di desa Tugu Rejo, kecamatan Tugu tersebut menyimpan rahasia besar dalam sejarah peradaban jawa.
Berdasarkan salah satu sumber data, Watu Tugu dulunya merupakan tapal batas antara kerajaan majapahit di jawa timur dengan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Dalam perjalanan sejarah, keduanya sempat terlibat konflik. Sebagai upaya perdamaian, didirikanlah Watu Tugu sebagai prasasti perdamaian dan juga pembebasan.
Dalam versi lain disebutkan, peristiwa perang saudara antara ciung Wanara dan Raden Tanduran memiliki arti penting dalam sejarah muasal nama kota Semarang. Orang menyebut keduanya “sama perang” atau sama – sama berperang. Dalam perkembangannya, perkataan itu di haluskan menjadi “Semarang” (J. Hageman Joz:1852).
Minim Perhatian
Hingga kini, Monumen Tugu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Awal ditemukan, monument Tugu sebenarnya sudah dalam keadaan tidak utuh. Itu terlihat dari sketsa yang dirilis Thomas Stamford Rafles yang menunjukkan sebagian tubuh monument rusak. Baru pada tahun 1868 (jawa) atau 1938 M, Dinas Purbakala Pemerintah Hindia Belanda dengan dibantu warga sekitar melakukan pemugaran.
Monumen Tugu sebenarnya telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional oleh dinas Pariwisata Dan kebudayaan Kota Semarang. Karena telah memenuhi criteria sebagai cagar budaya sesuai Undang – Undang (UU) nomor. 11 tahun 2010. Yaitu, berusia lima puluh tahun atau lebih dan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan.
Inisiatif pelestarian justru datang dari pihak swasta dan masyarakat setempat. Beberapa candi yang dibangun di kompleksWatu Tugu dibuat dan didanai oleh PT Jamin, pemilik lahan kompleks situs tersebut. Replika candi gedung Sanga itu dibuat untuk memperindah dan menarik animo pengunjung. Meski mendapat tentangan dari beberapa pihak lantaran keberadaannya akan menghalangi proses penelitian lanjut. Selain itu, keberadaan candi buatan di khawatirkan akan merusak keaslian Monumen Tugu.
Kekhawatiran itu akhirnya terjawab dengan kerancuan pemahaman di masyarakat. Kini masyarakat lebih mengenal Monumen Tugu dengan Sebutan “Candi Tugu”. Tak jarang yang menganggap candi itu asli.
Di samping itu, keberadaan Monumen Tugu terisolir karena tidak adanya papan petunjuk arah. Itu menyebabkan pengunjung kebingungan menemukan lokasi. Pemberian papan informasi dan petunjuk arah merupakan pekerjaan sederhana yang sampai saat ini belum dilakukan pemerintah.
Oleh : Irma Muflikhaha, Moh Mufid
Teman, itulah sekelumit artikel yang saya baca. Setidaknya bisa menambah pemahaman kita. Yang aneh sendiri, pada saat di kos aku bertanya pada mbak – mbak kos tidak ada yang tahu tentang keberadaan Monumen Tugu / Candi Tugu. Padahal mereka telah tinggal di 3 tahun lamanya dan berjarak dekat dengan tempat tersebut. Dari tulisan ini semoga dapat menambah wawasan bagi kita tempat bersejarah yang terlupakan. Semoga bisa menjadi manfaat bagi kita dan monument Tugu itu sendiri. So, bagi kalian yang belum pernah kesana, coba liat deh, lestarikan peninggalan bangsa kita.

1 komentar:

  1. Wah amazing banget sis..
    ane lihat tadi pas ane pulg dari Semarang pas lihat di sekitar situ kok baru tau kalau ada candi. Setelah ane browsing eh ketemu di blog kamu.
    Nice info sis. ^_^
    salam wong Kendal. Ditunggu kunjungan baliknya di blog saya.

    BalasHapus