I. PENDAHULUAN
Ada pihak yang merasa resah dengan
adanya kebebasan pers. Keresahan itu dinyatakan dalam bentuk ungkapan yang
berbunyi “Kebebasan pers tanpa batas”, padahal tidak ada kebebasan yang tidak
memiliki batas di dalam masyarakat modern, termasuk di Negara paling liberal
sekalipun. Tak terkecuali di lingkungan masyarakat primitive. Mereka bahkan
menganut aturan-aturan tertentu dalam menjalankan keprimitifannya.
Entah itu tulisan jurnalis
dipublikasikan di Koran, online di web atau lewat siaran radio dan
televisi, jurnalis harus mengikuti aturan moral dan hukum sebagaimana diatur
dalam undang-undang spesifik dan pedoman serta prinsip dasar umum. Beberapa
aturan dan prinsip ini dinamakan “etika”. Hukum dan etika adalah pedoman bagi
jurnalis untuk menjawab persoalan yang cukup rumit dalam mengumpulkan berita,
pelaporan, penulisan, dan editing.[1]
Apakah yang membatasi pers dalam
menjalankan kebebasannya, yang dinilai sebagai hak yang asasi itu? Setidaknya
ada empat hal yang perlu dipertimbangkan setiap orang saat berbicara soal
kebebasan pers, yaitu: undang-undang (UU) dan hukum positif (delik pers),
konsep atau sistem nilai yang dianut masyarakat, kode etik, dan teori
jurnalisme. Berikut beberapa penjelasan mengenai etika jurnalistik yang akan
diuraikan dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A. KODE ETIK JURNALISTIK
B. MACAM-MACAM DELIK
C. UNDANG-UNDANG PERS DAN PENYIARAN
III. PEMBAHASAN
A. KODE ETIK JURNALISTIK
Kode etik merupakan panduan moral dan etika kerja
yang disusun dan di tetapkan organisasi atau profesi seperti dokter, pengacara,
guru, jurnalis, dan lain-lain. Selain sebagai pedoman, fungsi kode etik juga
mengatur mengenai hal-hal yang seharusnya boleh dilakukan dan tidak. Maksudnya
adalah untuk mencegah anggota organisasi profesi bersangkutan melakukan
praktik-praktik merugikan profesi dan masyarakat, apalagi praktik-praktik yang
menyangkut pelanggaran pidana.
Dalam bidang jurnalisme kode etik diperlukan karena
adanya tuntutan yang sangat asasi, yaitu kebebasan pers. Di sisi lain, kode
etik juga dibuat untuk melindungi organisasi dan anggota profesinya dari
tekanan atau hal-hal merugikan yang dating dari luar. Jadi, kode etik biasanya
sebagian juga bermuatan masalah-masalah yang di atur dalam delik pers.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sebagaimana
terdapat dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 1/2000 yang dirumuskan di Bandung
1 September 1999 (yang dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Dewan Pers), menyebutkan,
“Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,
sadis, dan pornografi serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan
susila”. Sementara itu, “Kode Etik Jurnalistik” Indonesia (tahun 2003) dalam
Pasal 3 menyebutkan “Wartawan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan,
gambar, suara, dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bersifat
fitnah, cabul, sadis,serta sensasional”. Pasal 3 ini di ubah menjadi pasal 4
dalam Kode Etik Jurnalistik (tahun 2006 disebut sebagai pengganti KEWI tahun
2000) dan rumusannya juga dipersingkat menjadi. “Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.
Lalu “Kode Kehormatan Internasional Jurnalistik”
yang diterima Kongres International Federation of Journalists di Bordeaux,
April 1954 seperti yang dikutip dari buku Pers dan Wartawan karangan Mochtar
Lubis menyebutkan, “Dia (maksudnya wartawan) akan menganggap sebagai
pelanggaran-pelanggaran professional yang besar hal-hal sebagai berikut :
plagiarism, maki-makian, cercaan, tuduhan-tuduhan palsu, dan penerimaan sogok
untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu”. Dan juga ditekankan, di dalam
batas-batas hukum tiap-tiap Negara, “Wartawan mengakui dalam bidang
profesionalnya hanya yurisdiksi kolega-koleganya, dan menolak setiap campur
tangan pemerintah atau orang lain”.[2]
Embargo
Pasal 14 Kode Etik Jurnalistik PWI berbunyi: Wartawan
Indonesia menghormati embargo bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan
informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta
tidak menyiarkan keterangan ‘off the record’ atas kesepakatan dengan sumber
berita.” Embargo, adalah permintaaan menunda penyiaran suatu berita sampai
batas waktu yang ditetapkan oleh sumber berita, wajib dihormati.
Off-the-Record
Istilah ‘off-the-record’, meskipun pengertiannya
hamper sama dengan embargo, yaitu sama-sama merupakan permintaan dari sumber
berita untuk tidak menyiarkan keterangan yang diberikan oleh sumber berita,
tetapi menurut penjelasan pasal 14 tersebut bentuknya lain. Off-the-record
terjadi berdasarkan perjanjian antara sumber berita dan wartawan yang
bersangkutan untuk tidak menyiarkan informasi yang telah diberikan oleh sumber
berita.
Menyembunyikan Identitas Sumber Berita
Terkadang menyembunyikan identitas sumber berita itu
layak dilakukan ketika kita yakin tentang keakuratan informasi sumber berita,
atau ketika menyebutkan identitasnya akan menempatkan sumber berita dalam
posisi yang memalukan, mencurigakan, dan membahayakan dirinya.[3]
B. MACAM-MACAM DELIK
Delik Pers adalah pelanggaran
hukum yang dilakukan pers. Pelanggaran dimaksud berupa tindak pidana atas
ketertiban umum, hasutan, penghinaan, penyebar kabar bohong, dan pelanggaran
susila.
Di antara kelima delik ini, ada delik yang bersifat
aduan dan biasa. Delik aduan adalah delik yang proses hukumnya hanya
akan terjadi jika ada yang mengadukannya. Delik biasa adalah delik yang
tanpa pengaduan pun harus diproses menurut hukum yang berlaku.
Delik Ketertiban Umum adalah
delik yang berkaitan dengan penyebaran benih kebencian dan permusuhan di dalam
masyarakat terhadap pemerintah. Ada empat pasal dalam KUHP yang mengatur hal
ini yang dikenal dengan nama haatzaai artikelen. Pasal-pasal tersebut adalah
pasal 154, 155, 156, dan 157.
Delik Penghinaan atau berkaitan tentang
pasal penghinaan, yang disebut juga pencemaran nama baik, diatur dalam pasal
134 dan 137 khusus menyangkut Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian, terhadap
penguasa atau badan umum yang diatur dalam pasal 207, 208, dan 209.
Disamping itu, ada psal yang mengatur penghinaan
terhadap pegawai negeri yang sedang melaksanakan tugas, yaitu pasal 316. Selain
itu, KUHP juga mengatur tentang penghinaan umum atau penghinaan yang terjadi di
kalangan masyarakat umum dalam pasal 310, 311 dan 315.
Setidaknya ada 16 pasal dalam KUHP yang berkaitan
dengan soal delik penghinaan. Umumnya tergolong bukan delik biasa, tetapi delik
aduan. Artinya hanya ditindaklanjuti secara hukum jika diadukan.
Delik Penyiaran Kabar Bohong, ketentuan
pidana yang berkaitan dengan delik penyiaran
kabar bohong telah dicabut dari KUHP.
pasal 14
(1)Barang siapa dengan
menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan
keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sepuluh tahun.
(2) Barang siapa
menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberiatahuan yang dapat menerbitkan
keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita
atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga
tahun.
Pasal 15
Barang siapa yang
menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak
lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa
kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun.
Delik hasutan, adalah tindakan
yang mendorong serta mengajak dan membangkitkan orang lain supaya melakukan
suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Delik Susila, hal ini
berkaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi.[4]
C. UNDANG-UNDANG PERS DAN PENYIARAN
Selain
hukum positif yang diatur dalam KUHP, di Indonesia juga terdapat dua
undang-undang yang mengatur tentang pers dan penyiaran, yaitu UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam
pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa peranan pers bagi
masyarakat adalah guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan
nilai-nilai demokrasi atau mewujudkan supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat
umum, melakukan pengawasan, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Sementara itu, dalam Pasal 5 disebutkan sebagai berikut :
1. Pers
Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah.
2. Pers
wajib melayani Hak jawab.
3. Pers
wajib melayani Hak Koreksi.
Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa
perusahaan pers dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu
agama atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama atau yang bertentangan
dengan kesusilaan.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
antara lain dalam Pasal 3 mengatakan: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan
untuk memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa
yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis,
adil, dan sejahtera serta menumbuhkan industry penyiaran Indonesia.”[5]
[1]
Tom E. Rolnicki, C. Dow Tate, Sherri A. Taylor. Pengantar Dasar Jurnalisme
(Scholastic Journalism). (Jakarta: Kencana. 2008) hlm. 361
[2]
Sedia Willing Barus. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. (
Jakarta. Erlangga. 2010). hlm. 235
[3]
Hikmat Kusumaningrat, Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik; teori dan praktik.
(Bandung. Remaja Rosdakarya. 2005) hlm. 105
[4]
Sedia Willing Barus. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. (
Jakarta. Erlangga. 2010). hlm. 226
[5]
ibid. hlm. 233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar