Label

Senin, 23 September 2013

Etika Jurnalistik

I. PENDAHULUAN
Ada pihak yang merasa resah dengan adanya kebebasan pers. Keresahan itu dinyatakan dalam bentuk ungkapan yang berbunyi “Kebebasan pers tanpa batas”, padahal tidak ada kebebasan yang tidak memiliki batas di dalam masyarakat modern, termasuk di Negara paling liberal sekalipun. Tak terkecuali di lingkungan masyarakat primitive. Mereka bahkan menganut aturan-aturan tertentu dalam menjalankan keprimitifannya.
Entah itu tulisan jurnalis dipublikasikan di Koran, online di web atau lewat siaran radio dan televisi, jurnalis harus mengikuti aturan moral dan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang spesifik dan pedoman serta prinsip dasar umum. Beberapa aturan dan prinsip ini dinamakan “etika”. Hukum dan etika adalah pedoman bagi jurnalis untuk menjawab persoalan yang cukup rumit dalam mengumpulkan berita, pelaporan, penulisan, dan editing.[1]
Apakah yang membatasi pers dalam menjalankan kebebasannya, yang dinilai sebagai hak yang asasi itu? Setidaknya ada empat hal yang perlu dipertimbangkan setiap orang saat berbicara soal kebebasan pers, yaitu: undang-undang (UU) dan hukum positif (delik pers), konsep atau sistem nilai yang dianut masyarakat, kode etik, dan teori jurnalisme. Berikut beberapa penjelasan mengenai etika jurnalistik yang akan diuraikan dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A.     KODE ETIK JURNALISTIK
B.     MACAM-MACAM DELIK
C.     UNDANG-UNDANG PERS DAN PENYIARAN

III. PEMBAHASAN
A.     KODE ETIK JURNALISTIK
Kode etik merupakan panduan moral dan etika kerja yang disusun dan di tetapkan organisasi atau profesi seperti dokter, pengacara, guru, jurnalis, dan lain-lain. Selain sebagai pedoman, fungsi kode etik juga mengatur mengenai hal-hal yang seharusnya boleh dilakukan dan tidak. Maksudnya adalah untuk mencegah anggota organisasi profesi bersangkutan melakukan praktik-praktik merugikan profesi dan masyarakat, apalagi praktik-praktik yang menyangkut pelanggaran pidana.
Dalam bidang jurnalisme kode etik diperlukan karena adanya tuntutan yang sangat asasi, yaitu kebebasan pers. Di sisi lain, kode etik juga dibuat untuk melindungi organisasi dan anggota profesinya dari tekanan atau hal-hal merugikan yang dating dari luar. Jadi, kode etik biasanya sebagian juga bermuatan masalah-masalah yang di atur dalam delik pers.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 1/2000 yang dirumuskan di Bandung 1 September 1999 (yang dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Dewan Pers), menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan pornografi serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila”. Sementara itu, “Kode Etik Jurnalistik” Indonesia (tahun 2003) dalam Pasal 3 menyebutkan “Wartawan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis,serta sensasional”. Pasal 3 ini di ubah menjadi pasal 4 dalam Kode Etik Jurnalistik (tahun 2006 disebut sebagai pengganti KEWI tahun 2000) dan rumusannya juga dipersingkat menjadi. “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.
Lalu “Kode Kehormatan Internasional Jurnalistik” yang diterima Kongres International Federation of Journalists di Bordeaux, April 1954 seperti yang dikutip dari buku Pers dan Wartawan karangan Mochtar Lubis menyebutkan, “Dia (maksudnya wartawan) akan menganggap sebagai pelanggaran-pelanggaran professional yang besar hal-hal sebagai berikut : plagiarism, maki-makian, cercaan, tuduhan-tuduhan palsu, dan penerimaan sogok untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu”. Dan juga ditekankan, di dalam batas-batas hukum tiap-tiap Negara, “Wartawan mengakui dalam bidang profesionalnya hanya yurisdiksi kolega-koleganya, dan menolak setiap campur tangan pemerintah atau orang lain”.[2]
     Embargo
Pasal 14 Kode Etik Jurnalistik PWI berbunyi: Wartawan Indonesia menghormati embargo bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan ‘off the record’ atas kesepakatan dengan sumber berita.” Embargo, adalah permintaaan menunda penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan oleh sumber berita, wajib dihormati.
Off-the-Record
Istilah ‘off-the-record’, meskipun pengertiannya hamper sama dengan embargo, yaitu sama-sama merupakan permintaan dari sumber berita untuk tidak menyiarkan keterangan yang diberikan oleh sumber berita, tetapi menurut penjelasan pasal 14 tersebut bentuknya lain. Off-the-record terjadi berdasarkan perjanjian antara sumber berita dan wartawan yang bersangkutan untuk tidak menyiarkan informasi yang telah diberikan oleh sumber berita.
Menyembunyikan Identitas Sumber Berita
Terkadang menyembunyikan identitas sumber berita itu layak dilakukan ketika kita yakin tentang keakuratan informasi sumber berita, atau ketika menyebutkan identitasnya akan menempatkan sumber berita dalam posisi yang memalukan, mencurigakan, dan membahayakan dirinya.[3]
B.     MACAM-MACAM DELIK
Delik Pers adalah pelanggaran hukum yang dilakukan pers. Pelanggaran dimaksud berupa tindak pidana atas ketertiban umum, hasutan, penghinaan, penyebar kabar bohong, dan pelanggaran susila.
Di antara kelima delik ini, ada delik yang bersifat aduan dan biasa. Delik aduan adalah delik yang proses hukumnya hanya akan terjadi jika ada yang mengadukannya. Delik biasa adalah delik yang tanpa pengaduan pun harus diproses menurut hukum yang berlaku.
Delik Ketertiban Umum adalah delik yang berkaitan dengan penyebaran benih kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah. Ada empat pasal dalam KUHP yang mengatur hal ini yang dikenal dengan nama haatzaai artikelen. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 154, 155, 156, dan 157.
Delik Penghinaan atau berkaitan tentang pasal penghinaan, yang disebut juga pencemaran nama baik, diatur dalam pasal 134 dan 137 khusus menyangkut Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian, terhadap penguasa atau badan umum yang diatur dalam pasal 207, 208, dan 209.
Disamping itu, ada psal yang mengatur penghinaan terhadap pegawai negeri yang sedang melaksanakan tugas, yaitu pasal 316. Selain itu, KUHP juga mengatur tentang penghinaan umum atau penghinaan yang terjadi di kalangan masyarakat umum dalam pasal 310, 311 dan 315.
Setidaknya ada 16 pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan soal delik penghinaan. Umumnya tergolong bukan delik biasa, tetapi delik aduan. Artinya hanya ditindaklanjuti secara hukum jika diadukan.
Delik Penyiaran Kabar Bohong, ketentuan pidana  yang berkaitan dengan delik penyiaran kabar bohong telah dicabut dari KUHP.
pasal 14
(1)Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberiatahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal 15
Barang siapa yang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun.
Delik hasutan, adalah tindakan yang mendorong serta mengajak dan membangkitkan orang lain supaya melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Delik Susila, hal ini berkaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi.[4]

C.     UNDANG-UNDANG PERS DAN PENYIARAN
Selain hukum positif yang diatur dalam KUHP, di Indonesia juga terdapat dua undang-undang yang mengatur tentang pers dan penyiaran, yaitu UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa peranan pers bagi masyarakat adalah guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi atau mewujudkan supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat umum, melakukan pengawasan, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sementara itu, dalam Pasal 5 disebutkan sebagai berikut :
1.      Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2.      Pers wajib melayani Hak jawab.
3.      Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa perusahaan pers dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama atau yang bertentangan dengan kesusilaan.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran antara lain dalam Pasal 3 mengatakan: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera serta menumbuhkan industry penyiaran Indonesia.”[5]






[1] Tom E. Rolnicki, C. Dow Tate, Sherri A. Taylor. Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastic Journalism). (Jakarta: Kencana. 2008) hlm. 361
[2] Sedia Willing Barus. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. ( Jakarta. Erlangga. 2010). hlm. 235





[3] Hikmat Kusumaningrat, Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik; teori dan praktik. (Bandung. Remaja Rosdakarya. 2005) hlm. 105
[4] Sedia Willing Barus. Jurnalistik; Petunjuk Teknis Menulis Berita. ( Jakarta. Erlangga. 2010). hlm. 226

[5] ibid. hlm. 233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar